Cerita Pilu Warga Petani Patulana, Dihadang Intimidasi Kekuasaan
MAMUJU, REFERENSIMEDIA.COM – Cerita pilu seorang petani, warga Patulana, Desa Budong-budong, Kecamatan Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah puluhan tahun mencari keadilan.
H Muhammad Ramli alias Aba Arfa, kini tengah dirundung ketidakadilan dan dihadang intimidasi kekuasaan.
“Saya perjuangkan selama puluhan tahun, namun hak-hak saya seperti disepelekan,” kata Aba Arfa, Kamis, 6 November 2025.
Dia lalu menceritakan bagaimana kronologi dirinya mendapatkan lokasi tersebut, hingga memenangkan peradilan di berbagai tingkatan dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Kasasi Mahkamah Agung sampai Peninjauan Kembali (PK).
Lokasi tersebut berada di Dusun Galian, Desa Budong-budong, Kecamatan Topoyo atas nama Kelompok Tani Sipatuo yang diketuai Aba Arfa berdasarkan surat izin membuka tanah/konservasi penggunaan tanah nomor 460/7/53-14/1992 tertanggal 15 September 1992 seluas 212 hektar yang ditandatangani Bupati Mamuju, Juritno.
Dalam perjalanannya Kelompok Tani Sipatuo terjadi silang pendapat dengan La Palopo, Ketua Kelompok Tani Tallungallo, sehingga tanggal 28 Agustus 1997 pemerintah Kabupaten Mamuju menyelesaikan masalah tersebut yang tertuang dalam Berita Acara Penyelesaian Sengketa yang dihadiri Bupati Mamuju Nurhadi Purnomo. Aba Arfa menerima Lokasi selasa 80 hektar.
Namun, tahun 2002 tanah seluas 16 hektar dari 80 hektar tersebut diserobot Mahmud, Rasyid dan Paloloi dan dinyatakan menang di PN Mamuju. Tahun 2003 Aba Arfa melakukan Upaya banding di PT Makassar dan memenangkan perkara, demikian pula di tingka Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung.
Sehingga, pada tanggal 24 Februari 2014 Aba Arfa (Muhammad Ramli) mendampingi Panitera PN Mamuju melakukan sita eksekusi dan penyerahan atas tanah sengketa seluas 16 hektar dari 80 hektar tersebut berdasarkan Berita Acara Sita Eksekusi dan Penyerahan No.05/Pdt.G/2002/PN.MU.
Setelah dilakukan pegukuran tahun 2016, tenyata Mahmud Punna, Laupe, Dalle dan Mayyang masuh menggarap lahan tersebut. Aba Arfa kemudian memerkarakan mereka dan menang melalui Putusan Perkara Pidana No 32/Pid.B/2016/PN.Mam dan menyatakan para terdakwa dijatuhi hukuman pidana perjara selama 6 bulan.
Ternyata Mahmud dkk masih terus menggarap lahan, sehingga ketemulah Hendrik dengan Aba Arfa. Hendrik Menawarkan Solusi bahwa lahan itu bisa diamankan jika Aba Arfa bersedia memberikan sebagian lahan tersebut kepada Uwe Aras (Bupati Mamuju Tengah kala itu).
“Kepada pak Hendrik saya sampaikan bersedia memberikan lahan 16 hektar kepada uwe Aras jika lahan 40 hektar itu bisa diamankan. Tapi, saya sampaikan saya mau pinjam uangnya uwe Aras dulu 130 juta, pak Hendrik arahkan saya ketemu uwe Aras. Saya ketemulah sama uwe Aras dan menerima uang tersebut,” tutur Aba Arfa.
Waktu berjalan, kilah Aba Arfa, setahun kemudian Hendrik dan Suriadi (anggota polisi) mendatanginya dan meminta surat kuasa untuk menggarap lahan seluas 16 hektar tersebut dengan eskavator.
“setelah memberikan surat kuasa itu malah lebih meresahkan karena Mahmud dan penduduk yang lain justru bergabung ke pak Hendrik untuk mencelakai dan menjebak saya. Hal itu saya laporkan ke uwe Aras, malah uwe Aras bilang kalau Hendrik teman saya, padahal justru Hendrik yang datang ke saya atas suruhan uwe Aras,” ujar Aba Arfa.
Akhirnya Aba Arfa tetap kukuh memertahankan lahan itu tanpa melibatkan Hendrik lagi. Mahmud dan penduduk lain pun bisa dihalau oleh Aba Arfa dengan orang-orang yang didatangkan dari Balanipa, Tinambung. Lahan tersebut sudah bebas dari gangguan dan aman.
Karena kondisi kesehatan uwe Aras, masalah ini diserahkan ke anaknya Arsal Aras (Ketika itu masih menjadi Ketua DPRD Mamuju Tengah). Aba Arfa kemudian menemui Arsal dan Arsal menanyakan apakah lahan tersebut bisa digarapnya.
“Saya jawab bisa tapi ada janjinya itu uwe Aras ke saya soal proyek pengerasan bahkan sudah ada disposisinya uwe Aras. Kemudian Arsal menyarankan ke saya tidak usah ketemu uwe Aras, proposal itu Arsal janjikan untuk dimasukkan ke musrembang Desa Budong-budong tahun 2023. Saat itu anggotanya Arsal menggarap lahan 16 hektar itu dan mengganti bibit replanting,” kata Aba Arfa.
Lantaran ketidakjelasan proyek dari Arsal yang dimasukkan ke musrembang, Aba Arfa kemudian melarang orang-orang Arsal menggarap lahan 16 hektar tersebut.
“Saya puluhan tahun memperjuangkan lahan tersebut sampai berperkara di pengadilan hingga Mahkamah Agung, tapi kesannya saya mau diintimidasi karena kekuasaan. Padahal saya mempertahankan hak saya,” kata Aba Arfa memelas. (mk)


Leave a Reply