APBD dan Absennya Civil Society

Oleh : Ketua Umum BADKO HMI Sulawesi Barat, Muhammad Ridwan
MAMUJU, REFERENSIMEDIA.COM — Di tengah megahnya opini wajar tanpa pengecualian (WTP) BPK terhadap APBD Provinsi Sulawesi Barat. Bahkan sebanyak 11 kali berturut turut muncul sebuah catatan kritis yang berkembang terkait pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sulawesi Barat, satu hal yang patut disepakati bersama adalah pentingnya menata ulang paradigma pengelolaan anggaran. WTP hanya wajar secara administratif namun tidak wajar dan konsekuen pada kesejahtraan rakyat.
Tentu kita memberikan apresiasi atas komitmen Pemerintah Provinsi, dalam hal ini Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Barat, yang secara terbuka menyatakan kesamaan semangat untuk menghadirkan tata kelola anggaran yang lebih bertanggung jawab.
Setidaknya yang tercermin dalam catatan yang dimuat dalam salah satu media online dengan judul APBD dan Public Value. Namun, komitmen ini harus dikawal dan dikonkretkan dalam bentuk perubahan sistemik, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan anggaran.
Sebab jika kita jujur, struktur APBD kita hingga hari ini belum sepenuhnya mampu menjadi jawaban atas berbagai persoalan riil di masyarakat: kemiskinan yang masih tinggi, mutu pendidikan dan kesehatan yang belum merata, serta rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM). Dalam kondisi seperti itu, APBD idealnya bukan sekadar dokumen anggaran, tetapi alat perjuangan kesejahteraan.
Sayangnya, secara struktur fiskal, ketergantungan kita terhadap dana transfer pusat masih sangat tinggi*. Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya menyumbang sekitar 27 persen dari total APBD angka yang jauh tertinggal dari sejumlah provinsi lain yang sudah melampaui 50 persen. Ketimpangan ini memperlihatkan lemahnya kemampuan fiskal daerah untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Langkah membentuk lembaga khusus yang mengurusi pendapatan daerah, sebagaimana digagas oleh Gubernur dan Wakil Gubernur, adalah angin segar. Namun ia baru sebentuk upaya struktural. Yang lebih esensial adalah membenahi cara pandang kita terhadap anggaran (kultural).
Kita tak bisa terus-menerus terjebak dalam pola pikir lama: berebut membelanjakan anggaran. sementara cara memperolehnya dan tujuan penggunaannya sering kali kabur. Inilah akar dari budaya birokrasi yang menjadikan APBD sebatas rutinitas tahunan, bukan sebagai instrumen perubahan sosial.
Lebih buruk lagi, banyak dokumen APBD yang sejatinya hanya template atau copy-paste dari tahun ke tahun. tanpa basis kajian yang kuat dan tanpa partisipasi masyarakat. Dalam banyak kasus, program-program dalam APBD tidak lahir dari kebutuhan riil rakyat, melainkan hasil kompromi antar kepentingan birokrasi atau elit politik.
Dalam kondisi ini, reformasi politik anggaran menjadi keharusan. Dan reformasi itu mensyaratkan hadirnya partisipasi aktif masyarakat sipil. Inilah saatnya kita mendorong lahirnya “Sekolah Anggaran” bukan dalam pengertian fisik.tapi sebagai ruang kolektif untuk mengedukasi publik tentang bagaimana anggaran disusun, dijalankan, dan diawasi. Sebab dalam logika pembangunan dan kebijakan masyarakat selalu disisihkan hanya sebagai objek pasif.
Sebagai bagian dari Civil Society, kami di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merasa terpanggil untuk memainkan peran tersebut. Sekolah anggaran adalah media untuk membongkar “Anatomi APBD” yang selama ini cenderung elitis dan teknokratis. Ia harus menjadi milik rakyat, dipahami substansinya oleh warga, dan dibangun dari kebutuhan nyata masyarakat Sulawesi Barat.
Spirit ini sejatinya telah diakomodasi dalam *Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah*, khususnya pada Pasal 354 yang menegaskan bahwa Pemerintah Daerah wajib mendorong partisipasi masyarakat, membuka ruang transparansi, dan mengembangkan kapasitas kelompok masyarakat sipil untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Namun spirit ini sering kali macet dalam implementasi.
Transparansi anggaran tak cukup hanya diucapkan. Ia harus dilembagakan secara digital dan terbuka, misalnya lewat sistem “e-budgeting” yang dapat diakses publik. Lebih jauh lagi, jika pemerintah bisa memberikan hibah kepada partai politik untuk kegiatan pendidikan politik, maka *pemerintah provinsi juga wajib memfasilitasi kelompok masyarakat sipil* dalam melakukan pendidikan anggaran, pengawasan anggaran, serta keterlibatan dalam proses-proses perencanaan dan evaluasi APBD. Ini bukan hanya soal keadilan anggaran, tetapi *bagian dari pendidikan politik yang hakiki*.
Pendidikan politik sejati tidak berhenti pada pesta demokrasi setiap lima tahun. Ia justru berakar pada pemahaman rakyat terhadap *alur kebijakan publik, sumber-sumber anggaran, dan prioritas belanja pemerintah*.
Sebab Kita tahu persis dalam medan politik anggaran salalu ada oposisi biner atas pertempuran antara dua logika: logika teknokratis (yang berbicara efektivitas, efisiensi, akuntanbikitas ) dan *logika politik kekuasaan* (yang berbicara kepentingan, kompromi, dan elektabilitas). Yang kadang memperburuk penggunaan anggaran.
Terakhir, kami berharap bahwa untuk dapat merepresentasikan publik velue perlu ada espresi konkrit dari publik itu sendiri, tentu ini tidak berarti kita tidak percaya kepada dua istutusi formal yang selama ini menjadi mandat politik sekaligus moral dari rakyat. namun refleksi ini adalah jawaban atas kenyataan betapa murungnya wajah APBD kita dalam satu dekade belakangan. Dalam memahami dan mengelola APBD.
Kita butuh keberanian politik, kecermatan teknokrasi, dan partisipasi publik yang otentik. Kami percaya, tantangan ini dapat dijawab oleh kepemimpinan Sulawesi Barat saat ini. selama ruang koreksi dan partisipasi dibuka seluas-luasnya, dan kemitraan dengan masyarakat sipil dijalankan secara jujur. Selamat bekerja. (*)
Leave a Reply